Travel

Rindu Mendaki, Pendakian Gunung Papandayan yang Kedua Kali

 

 

Gunung Papandayan
Pendakian gunung Papandayan ini dalam rangka melepas rindu. Sudah 1 tahun enggak nanjak kangen juga. Terakhir kali naik gunung itu Gunung Merbabu bulan april tahun 2016. Saya juga bukan yang pro banget sih. Pengalaman naik gunung saya juga baru Gunung Papandayan, Gunung Prau sama Gunung Merbabu.

Sudah lama enggak nanjak juga takutnya stamina nya udah nggak bagus. Karena tahun ini ada rencana naik Gunung Sumbing. Akhirnya untuk pemanasan saya dan teman-teman berencana naik Gunung Papandayan (lagi).

Awalnya sih yang mau ikut lumayan banyak ya, ada saya, Titi, Reza, Yuan, Heru, Ce Desi sama kak Rose. Cuma akhirnya tumbang satu persatu hingga akhirnya tersisa saya, Titi, Reza sama Heru. Meeting point dilakukan di terminal Kampung Rambutan jam 21.00 yang pada kenyataannya molor sampe jam 22.00 #Indonesaaah. Kami naik bus yang rencananya akan turun di terminal Guntur, Garut.

Perjalanan ke Basecamp Papandayan

Sekitar pukul setengah lima subuh sampailah kami di terminal Guntur. Dalam hati saya bilang “eh buset sepi amat”. Padahal Desember tahun 2015 pas ke Papandayan pertama kali,terminal ini ramai para pendaki.

Sehabis turun dari bus, saya sama Titi yang pernah ke Papandayan jadi linglung karena suasananya beda. Untungnya pas banget ada beberapa pendaki juga yang mau ke Papandayan. Jadi kami bisa sewa satu mobil bak bareng sampe pasar Cisurupan.

Tapi ada informasi dari bapak sopir mobil bak kalau sebenernya enggak boleh ke Papandayan naik mobil bak dari terminal Guntur. Jadi kami disuruh bilang kalo kami mau ke gunung Guntur bukan ke Papandayan. Karena idealnya kalo ke Papandayan itu naik angkot ke pasar Cisurupannya bukan mobil bak.

Setelah sampai di pasar Cisurupan harus oper mobil bak lagi (karena sudah beda daerah kekuasaan). Nah pas di mobil bak kedua ini kami ditanya sama bapak sopirnya “naik dimana”, trus kami jawab “Guntur pak”. “Oh pom bensin ya”, trus kami cengo dong ya, akhirnya kami iyain aja. Berarti dari terminal Guntur tuh emang sama sekali terlarang buat mobil bak. Kalo nekat bapak sopirnya yang bisa kena masalah.

By the way, di Papandayan ini ada babi hutan yang dikasih nama Omen. Enggak tau kenapa ya, tiap ke Papandayan saya selalu jodoh sama Omen. Wkwkwk. Ini mah apes. Pas banget selalu si Omen nya lagi turun ke camp area Pondok Saladah.

Oya, sebenernya buat yang masih mau beli logistik bisa dicari juga di pasar Cirusupan. Seperti sayur sop mungkin. Kemaren karena lupa belum beli kertas nasi kami juga nyari disana. Beli di tukang nasi lima ribu rupiah dikasih banyak.

Tiket masuk ke Papandayan sekarang mahal sekali deh,Rp 65.000 #sengajadibold #biardramatis. Hihihi. padahal dulu seinget saya Rp. 15.000 saja #hiks. Perubahan tarif ini membuat wajah Papandayan juga berubah drastis.

Perjalanan Basecamp-Kawah

Kami sampai di area basecamp Papandayan pas langit nya juga masih rada gelap. Saya lupa jam berapa sepertinya sekitar pukul setengah 6 pagi. Jangan ditanya kayak apa dinginnya.

Karena belum solat subuh akhirnya kami solat subuh dulu sekalian cuci muka. Si Reza sempet mandi dong, luar biasa memang. Ini sekarang tempat solat, wudhu dan mandinya pun sangat proper ya. Enggak seperti dulu.

Sehabis bebenah kita sarapan nasi goreng dulu di warung sekitaran area tempat solat. Setelah semuanya siap, sekitar jam 9 kami akhirnya mulai nanjak juga. Sumpah ya ini selelet leletnya lelet. Padahal nyampe di basecamp jam 6 #speechless.

Tim Mendaki Papandayan
Fullteam sebelum nanjak

 

Jalur menuju Kawah Papandayan
Jalur menuju Kawah Papandayan

 

Belum 10 menit perjalanan ternyata teman kami, Heru, kondisi badannya tidak sanggup meneruskan perjalanan. Sebenernya dari Jakarta sudah nggak fit badan nya, tapi dasar bandel akhirnya nekat ikut. Cuma karena kami nggak tega dia batuk-batuk terus selama perjalanan, akhirnya kami bujuk Heru untuk tidak lanjut perjalanan.

Setelah melihat Heru jalan balik, kami lanjut perjalanan. Posisi kami sudah di area kawah Papandayan. Di area kawah sekarang sudah ada gazebo untuk beristirahat dan ada kamar mandi juga. Dulunya belum ada.

Kamar mandi di Area Kawah
Kamar mandi di Area Kawah Kamar mandi di Area Kawah Papandayan. Desember 2015 belum ada.

Perjalanan dari Kawah-Pondok Saladah Papandayan

Setelah melewati kawah Papandayan kita akan berjumpa dengan beberapa warung. Di sini kalau ada yang mau istirahat bisa istirahat sebentar minum teh panas sama gorengan. Heheh. Karena kami berangkatnya sudah lelet, opsi istirahat dihapus ya.

Di area warung ini sebenernya ada jalan bercabang dua, kekiri dan kekanan. Jalur kiri ini sepertinya adalah jalur yang baru kami tahu . Dibuat tangga-tangga yang nanti langsung tembus Hutan Mati. Cuma karena kelompok kami nggak tau tentang jalur ini ya udah kami jalan aja pakai jalur kanan.

Sedangkan Jalur kanan adalah yang kami lalui pada pendakian papandayan sebelumnya. Sebenernya jalur kanan menuju goverhut ini juga sudah berubah drastis seinget saya. Jalurnya sepperti ditambah batu-batu kecil.

Di perjalanan kami bertemu dan menyapa dua mas-mas yang sedang naik juga. Tapi si mas berdua ini nggak bawa keril. Pas kami tanya ternyata kerilnya dinaikin ojek. Hahah. Bayarnya Rp. 25.000 katanya.

Setelah percakapan itu kami jadi ada ide buat naikin ojek teman kami, Heru. Jadi pas ada babang ojek motor papandayan lewat kami stop sembari kami kasih tahu kalau ada anak namanya Heru angkut aja, bilang dari Leni sama Titi #sokartes.

Sekitar jam 11 siang akhirnya kami sampai di Pondok Saladah. Kami daftar dulu, ada pos pendaftarannya. Disuruh tulis nama anggota sembari dikasih nomer patok camp.

Karena cuma bertiga, dua orang, titi dan reza mendirikan tenda dan yang satu, saya kebagian memasak. Ini masak drama nya banyak banget dah. Ceritanya lagi ngerebus mi instan nih, mi nya dah jadi mau dipindah ke piring eh tumpah #emangsayaenggakpro #hiks.

Perjalanan Ke Tegal Alun Papandayan

Rencananya kami hanya akan naik sampai tegal alun. Pokoknya sebisa mungkin sebelum malem sudah sampai tenda lagi. Sehabis makan siang rencana langsung siap-siap ke Tegal Alun.

Pada kenyataan nya enggak ada satupun diantara kami yang tahu jalan ke Tegal Alun. Awalnya kami tanya ke ibu warung dekat tenda kami arah Tegal Alun. Si Ibu sudah menjelaskan dengan cukup lengkap. Tapi kadang kenyataan tidak sesuai dengan harapan memang.

Kami berangkat ke Tegal Alun berbekal petunjuk yang diberi ibu warung. Lewat Hutan Mati pastinya. Syukurnya, Saya sama Titi masih inget jalan ke Hutan Mati. Walaupun jalurnya banyak cabang kecil-kecilnya. Tapi sepertinya ujungnya Hutan Mati.

Masalah sebenernya adalah dari Hutan Mati. Awalnya kami sok yakin melewati salah satu jalur yang sesuai perkiraan kami sama seperti penggambaran Ibu warung. Cuma kok belum ada beberapa menit jalan, ada yang janggal sama jalurnya.

Akhirnya kami turun lagi. Pas dibawah, kebetulan ada bapak-bapak yang lagi berburu entah apa, kami tanya lagi sama si bapak. Setelah dijelasin selengkap-lengkapnya akhirnya kami jalan lagi. Tapi ya entah ini kami yang rada kurang pinter atau apa, nyasar lagi dong yaa #timnyasar #miapah.

Ditengah jalan mau turun beruntungnya kami ketemu sama rombongan pendaki yang baru turun dari Tegal Alun. Mereka dipandu sama adek kecil warga lokal. Kami nanya lagi untuk yang kesekian kalinya jalur yang bener untuk ketegal alun. Finally, kami berada dijalan yang benar.

Jalur ke Tegal Alun tanjakannya luar biasa sodara-sodara. Mungkin itulah kenapa dinamakan Tanjakan Setan (eh bener kan ya?). Cuma kata Titi jangan percaya, ada jalur yang lebih mudah sedikit untuk ke Tegal Alun. Entah ya jalur mana. Kami aja nemu jalur itu nyasar mulu #hiks.

Oya jalan ke Tegal Alun yang kami lewati masih berupa hutan yang lumayan tertutup. Kadang masih suka salah jalur juga. Identifikasi sotoy kami, kalo banyak ranting yang menutupi jalur kemungkinan besar itu jalan yang salah.

Untungnya disepanjang jalan ke Tegal Alun ada yang berinisiatif entah siapa ngasih petunjuk pakai tali rafia biru yang diiket disepanjang dahan pohon. Setelah perjalanan hampir 2 jam nyasar gak kelar-kelar, sampailah kami di Tegal Alun sekitar jam setengah 5.

Kamar mandi di Area Kawah
Salah satu tanjakan menuju Tegal Alun

 

Tanjakan Menuju Tegal Alun
Tanjakan lagi. Inframe Titi dan Reza

 

Nggak bisa digambarin ya ini perasaan bahagia nyampai sana setelah berkali-kali nyasar dan hampir frustasi mau balik turun ke Pondok Saladah lagi. View nya itu jadi tak ternilai. Setelah poto-poto dan keliling Tegal Alun sebentar, cuma setengah jam kami disana, akhirnya kami turun karena takut pulangnya kemaleman. Sekalian kalo beruntung mungkin bisa dapet sunset di Hutan Mati.

Perjalanan turun untungnya lumayan cepat. Sekitar 1 jam perjalanan kami sudah tiba di camp area. Sedihnya nggak keburu sunsetan di Hutan Mati. Tapi kami cukup bersyukur bisa balik camp Pondok Saladah sebelum terlalu malam.

 

Tegal Alun
Salah satu sudut di Tegal Alun

Cerita Nenda di Pondok Saladah Papandayan

Sampai tenda kami harus gerak cepat untuk masak. Karena kalo malam, Omen, si babi hutannya Papandayan suka dateng ke area camp. Oya setelah 3 kali naik gunung, akhirnya saya dapet milkyway juga di Papandayan #terharu. Karena lagi milkyway malem itu si Reza jadi sibuk pasang kamera buat foto milkyway sembari masak puding.

Milky Way Papandayan
Ngiri ini serius bisa foto begini. Photo By Reza

Sebenernya pas masak kita udah deg-degan gitu, takut didatengin Omen. Soalnya selama kami masak dan makan si Omen udah beberapa kali show off. Si Omen ini kenampakannya warna putih terus badannya geude kek sapi. Sampai satu waktu si Omen beneran jalan ke arah tenda kami, ini asli panik banget ya saya sama Titi. Langsung kabur ke tenda piring makan dilempar keluar.

Untung nya banya yang bantuin buat ngusir Omen. Setelah Omen pergi, kami buru-buru beresin alat-alat masak yang diluar. Trashbag digantung di pohon.

Enggak lama setelah kami beres-beres, kami disamperin bapak yang jaga pos pendaftaran. Kami ditanyain asal dari mana. Eh kami dapat kejutan, teman kami Heru, sampai juga di Pondok Saladah.

Beneran naik ojek dia. Duh, kami terharu banget dia sampai Pondok Saladah. Soalnya alasan dia mau naik Papandayan tuh katanya pengen liat edelweis.

Edelweis Papandayan
Heru yang akhirnya bertemu edelweis. Cieee

 

Sunrise di Hutan Mati Papandayan

Besokannya kami telat bangun #hiks. Padahal pengen liat sunrise  dari Hutan Mati. Si Reza tega bener lagi ngebaguninnya dengan buka pintu tenda lebar-lebar. Biar kedinginan terus bangun katanya #jahaaaad. Hahaha. Setelah solat subuh, kita jalan buru-buru ke Hutan Mati. Lumayan lah ya, kelewat dikit-dikit juga.

Sunrise Hutan Mati Papandayan
Mayan dapat sunrise dikit
Sunrise Hutan Mati Papandayan 2
Masih foto sunrise

 

Kami di Hutan Mati lumayan lama sih dari jam 6 sampai jam 9 pagi. Balik ketenda, masak, packing, pulang. Pulangnya kami lewat jalur yang dari Hutan Mati. Ternyata cepet banget dong. satu jam lebih dikit kami sudah sampe bawah.

Jalur dari Hutan Mati ke Basecamp
Jalur turun dari Hutan Mati ke Basecamp
Jalur dari Hutan Mati ke Basecamp 2
Jalur turun dari Hutan Mati ke Basecamp difoto dari atas

 

Kesan di Papandayan

Kami mandi, beres-beres, makan, sembari nunggu mobil bak (ini mobil bak supir nya sama kayak pas kita dateng) buat angkut kami ke pasar Cisurupan. Ini asli sih mobil bak nya penuh drama banget. Si babang supirnya enggak mau ngangkut kalo penumpangnya belum 10 orang.

Setelah nego dan lain-lain, akhirnya kami naik mobil bak orang lain. Perjalanan pulang kami cukup lancer. Kami sampai Jakarta sekitar setengah 11 malam.

Papandayang selalu ngasih kesan yang menyenangkan sekaligus thrilling (gara-gara Omen) buat saya. Buat temen-temen yang mau kemping bisa dicobain kemping di Pondok Saladah. Enaknya kalo ke Papandayan, enggak perlu repot bawa logistik juga bisa, karena diatas banyak warung. Cuman nyenenginnya kemping salah satunya masak-masak bareng ya. Walaupun hanya makan mi rebus. Hehe.

Kapan-kapan yuk kemping lagi ke Papandayan.

Pondok Saladah

 

29 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *